Rabu, 30 November 2011

Aku (ingin) seperti air, yang menguap untuk kemudian kau hirup dalam nafasmu.
Kau tahu kopi?

Ya, ia pahit.

Seperti semua kenangan buruk di kepala dan di dada.

Tapi ingat, pahit nya kopi masih bisa dinikmati.
Aku hanyalah teks.

Diam...

Bila kau tak membacanya.

Saling mengisi dengan berbagi

,




















Apa yang terlihat sebelum tulisan ini?
Ya, hanya bagian yang kosong.
Tapi jangan lupa, ada spasi yang bekerja menjadikan bagian itu ada.
Jadi, jangan lupakan spasi dan mari mengisi bagian yang kosong dengan berbagi.

Selasa, 15 November 2011

Pertemuan

Untuk El




Pada puisi,
hal yang sepertinya mustahil menolak untuk menjadi nihil.
Pada sebuah pertemuan,
setiap hal yang ganjil mencoba tak jadi asing karena senyuman.

Kita bertemu seperti mustahilnya hal dalam puisi.

Menolak menjadi nihil dengan mengubah hal ganjil menjadi obrolan menyenangkan,
yang berawal dari senyuman.
Menjadi sebuah puisi tentang pertemuan,
yang menyenangkan.










Hang lekir, 161111

Rabu, 09 November 2011

INDONESIA Ku Cinta (?)

INDONESIA ku adalah pelangi.

Indah dari kontrasnya warna yang berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain dengan baik.

Tapi, kita semua tahu...

Pelangi akan datang ketika hujan reda, menyisakan sejuknya gerimis tipis.











Apakah masih bisa sabar menunggu?

Selasa, 11 Oktober 2011

(Jog)Jakarta

Untuk Magic Rainbow




Sepuluh jam perjalanan kereta...



Di kepala...


Ada pelangi
7 warna yang magis
Hadir bersama gerimis.


Ada kau yang rajin senyum dan tertawa.

Ada kimia, fisika dan matematika.

Ada janji
Pada senja diantara bebatuan candi.


Ada angkringan
Obrolan ringan
Susu coklat dan gorengan.




Dan...








Adanya tulisan ini,
Untuk keinginan akan sebuah pertemuan (lagi).






MATRAMAN
20110824

Rabu, 05 Oktober 2011

Nona, (jangan) Tunggu!

Nona...
Apakah kita tidak bisa berjalan saja?

Kau begitu bersemangat.
Kau telah mengisi penuh hasrat.

Tapi kau setengah berlari,
terlalu cepat...

Sedang rasa yang ku punya terhalang kerikil buta.
Sedang langkah ku tak bersepatu,
teramat pelan untuk mengejarmu diantara kerikil itu.


Aku tak akan memanggil nama mu.
Karena ku tak ingin membagi telapak yang berdarah.



Diantara langkah mu yang terburu,
tubuhku membiru.
Diantara tawa kecil mu,
hati dan intuisi bergesekan pilu.
Menahan rasa ngilu.

Sedang kau terlihat semakin cepat,
melangkah jauh hampir tak terlihat.

Tak kukantongi kompas menuju ke arah mu...

Hanya sedikit keyakinan terselip di saku.
Hanya detik yang berdetak,
meneteskan rindu pada trotoar jalan.


Pada langkah,
pada arah,
pada semua tentang mu,
yang indah.

Selasa, 04 Oktober 2011

Malam

Saya rasa malam adalah seorang ibu...
Atau setidaknya wanita tua yang sabar...




Malam tak pernah lelah mendengar segala keluh kesah.
Selalu bersedia menampung setiap tetes air mata.
Menjaga setiap tubuh dalam peristirahatan.
Memberi sunyi untuk setiap ketenangan.
Memberi senyum untuk setiap kesenangan.
Memberi pelukan pada setiap percintaan.










Terimakasih malam.

Pada Sore dan Atap

Di atas atap kita menertawakan kota yang gedung-gedungnya ketinggian.

Apa kau masih ingat?


Sempat pula berkhayal menjadi pesulap yang bisa menghilangkan gedung-gedung penghalang.
Agar bisa melihat jelas tiap senja datang.

Kemudian........ kau menangis di pelukanku.
Berkeluh kesah tentang dunia yang kadang melupakan sastra.

Lalu kubilang; dunia memang berisi manusia yang akrab dengan lupa.
Jadi, tetaplah menulis untuk mengingatkan diri dan mereka.

Tangismu terhenti..........


Nafas mu tenang dan teratur.......










Saat itu juga ingatan mu tentang ku mulai luntur.

Rabu, 28 September 2011

Jika

Jika kita bertemu mata,
Kemudian bertemu rasa
Tolong jangan kau hitung deretan waktu yang terlewat.
Agar langkah yang telah seiring tak terasa berat.

Jika di kemudian hari datang amarah dan haru.
Jangan ragu untuk teriak di telinga ku.
Teriaklah sekeras kau mampu, berdarah-darah pun tak jd masalah.
Sebab masalah tak bisa selesai dalam diam yang bisu.

Jika ternyata kita menuju arah mata angin yang berbeda.
Bawa saja rusuk yang kupinjamkan padamu.
Karena, jika kau kembalikan pasti akan menusuk jantung hati
Memang tidak mematikan,
Hanya meninggalkan bekas luka yang lama terhapus.
Dan aku tak punya banyak waktu untuk menyaksikan semua itu.

Dan jika ternyata kita bertemu lagi di belahan bumi lain.
Aku cuma minta kau menutup mata dan mengasah rasa.
Cukup itu saja.

Fiksi; mencuri mimpi menuju nyata

Malam tadi, telah ku curi sepotong mimpi.
Lalu Kutoreh di atas kertas menjadi fiksi.

Mimpi tentang mu yang tak benar-benar aku tahu.
Fiksi tentang rona merah pipimu dan lekuk indah tubuhmu.

Sayang sekali mimpi tak punya tombol berhenti.
Andai saja ada, akan kutekan tombol itu kuat-kuat. Agar wajah dan tubuh indahmu bisa benar-benar kuingat.

Agar tak bernasib seperti fiksi yang ada dari hasil terka.
Agar jadi hal nyata yang bisa dirasa.
Agar semua harap tak jadi sia-sia.

Dan yang terpenting, bukan lagi hanya sepucuk surat yang tersisa di pagi buta.
Tapi sesosok tubuh yang nyata di depan mata.

Aku dan Kamu adalah Kita

Aku dan kamu adalah teks.

Nyata terbaca. Dipikir dan dicerna.

Aku dan kamu adalah prasangka.

Tak pernah sama di setiap kepala.

Aku dan kamu adalah rasa.

Tak terlihat namun bukan muslihat.

Apa ini cinta atau salah sangka.

Tak perlu dijadikan perkara.

Yang terpenting aku dan kamu adalah kita.

Adalah bersama. Sementara tetapi lama.

Tarling; kesedihan diatas panggung gembira

Sorot senja sore ini seperti sorot mata seorang gadis belia diatas panggung-panggung tarling pantura.

Senang namun tak berdaya.

Senang oleh para lelaki yang bergoyang dengan segepok uang ribuan di tangan.

Demi mengeluarkan diri yang tak berdaya pada kemiskinan.

Jangan salah kira, ia sama sekali tidak menjual dirinya.

Ia cuma berbagi kesenangan dengan membungkus duka dalam balutan musik gembira.

Musik tarling mewakili dirinya akan ironi hidup.

Antara lirik tentang derita dan balutan musik gembira.

Antara bintang panggung dan cemooh para tetangga.

Waktu

Apa itu waktu…

Sesuatu yang bisa kau susuri terus ke depan, sesekali mengingatkan mu untuk menoleh ke belakang.

Tapi kau tak perlu dan tak bisa mengulangnya lagi.

Memang segala hal yang berlangsung sekarang atau esok adalah sebuah pengulangan, yang selalu baru.....

adalah pemaknaan.

Hidup bukan untuk terus menyesali yang lalu, atau takut pada hari depan.

Hadapi saja yang ada sekarang, terserah mau berlari atau berjalan.

Langkah Telanjang

Kenapa terus berdiam dirumah, sesekali keluar hanya untuk mengunjungi gedung megah yang sejuknya palsu, yang menjual mimpi dalam bentuk visual, menopengi kekhawatiran dengan merk dagang yang katanya berkelas. Padahal diciptakan oleh tangan kasar para buruh yang disayat oleh para pemilik modal.

Kenapa tak mencoba keluar tantang sengatan panas atau tusukan dingin. Enak atau tidak, itu yang asli dan nyata.

Kenapa mesti isi perutmu dengan makanan mahal seharga lusinan porsi ransum pengungsi ataupun korban kelaparan.

Kenapa kau pakai sepatu seharga berlian yang membatu. Tetap saja kau injak, seperti nasib para pembuatnya.






Bukankah telanjang kaki diwaktu hujan itu menyenangkan ??

Kesepian

Kesepian adalah…..

Kota besar…

Dengan gemerlap lampu di setiap sudut jalan.

Beton sombong menjulang.

Pusat belanja tempat buang-buang uang.

Orang-orang lalu-lalang bermata nyalang, berlomba memberi label dirinya sampai nominal tak terhingga.

Manipulasi rasa para industri raksasa, dan rasa pun berubah jadi harga.

Ketika harga menjulang tinggi, ia menyiksa namun sekaligus begitu di puja.

Selalu berakhir dengan bangga telah bisa membawa pulang gengsi.

Rumah kembali mengingatkan segala tagihan yang memusingkan, kebutuhan yang tak ada habisnya, dan tentunya ranjang dingin itu….. yang bisu…… yang mati bersama segala sepi di malam hari.

Selasa, 27 September 2011

Buku; Halaman Kehidupan

Kebanyakan orang datang ke toko buku untuk mencari buku "ringan".

Padahal buku "berat" selalu bisa memberikan manfaatnya sendiri. Seperti hidup dan berbagai macam manusia yang ada didalamnya.

Setiap manusia selalu mencari jalan paling mudah dan menyenangkan untuk dilalui, tapi tanpa disadari semua hal yang mereka anggap mudah dan menyenangkan itu bisa dirasa "lebih" karena ada hal berat yang pernah menghampiri sebelumnya, yang menguras tenaga dan pikiran, yang mungkin hanya hadir dlm keluh kesah. Yang lalu dilupa dan dikunci rapat-rapat dalam peti kenangan.

Tapi sebenarnya mereka sadar betul kalau mereka juga menyimpan kunci kenangan dengan hati-hati.

Untuk menyembunyikannya dari orang lain, untuk adanya alasan bahwa benci itu perbuatan yang benar, atau untuk mengobati rindu yang sembunyi-sembunyi.

Karena mungkin takut diketahui oleh gengsi dan emosi, padahal untuk alasan yang terakhirlah semua kesenangan bisa terasa begitu nikmat. Jadi tak perlu menyimpan buku "berat" di dalam gudang berdebu, tak ada salahnya bila ia ada berdampingan dan berderet rapi bersama buku yang "ringan" agar semua bisa dijadikan pilihan, bukan untuk dibeda-bedakan lalu disingkirkan

Tertahan Hujan

Rintik hujan dan desau angin malam menahanku di teras rumahmu. Kulihat jam yg melingkar di tanganku, sudah pukul 20.30 sekarang. Kira-kira sekitar satu setengah jam lagi waktu ku untuk berada disini. Sebenarnya ingin lebih lama lagi, tetapi lingkungan ini terlalu konservatif untuk menerima hal itu.







sambil menunggu hujan reda, kuhabiskan sisa kopi hitam buatanmu. Begitu nikmat dengan komposisi yang pas, tak terlalu pahit juga tidak terlalu manis.Seperti apa yang kulihat dihadapanku saat ini, tak begitu cantik tetapi juga tidak jelek. Pas dan enak dilihat. Begitu kataku. Dan kau pun tersenyum malu dengan pipi merah merona. Lalu seperti biasa kau bilang "dasar gombal". Aku pun membalas dengan senyum.







Lalu diam datang lagi, mungkin karena memang sudah terlalu banyak meracau sedari tadi.







Hujan belum juga reda, kupinjam gitar kepunyaan adikmu untuk sekedar membunuh waktu. Kunyanyikan sebuah lagu romantis dengan nada merayu, kau kembali tersipu. Kulit pipimu yang putih tak mampu menutupi rona merah malu-malu.



Satu lagu selesai, dan lagi-lagi kau berkata "dasar gombal". Aku kembali tersenyum sambil berkata dalam hati,



"apa yg keluar dari mulutmu itu adalah benturan logika, tapi rona merah di pipi mu tak bisa berdusta akan apa yang kau rasa".







Tiga lagu sudah kunyanyikan untuk sekedar melihat rona merah yang selalu terlihat indah di wajahmu.







Sudah pukul 21.30 sekarang.







Hujan reda, pergi bersama segala sihirnya yang sangat mendukung suasana malam ini.







Dan waktu yang aku benci pun tiba.



Ya, waktu untuk berpamitan.







Kupakai jaket ku, kunyalakan sepeda motor ku, kukembalikan kesadaran ku.



Sadar kalau ternyata kamu memang bukan pacarku.







Semoga saja bisa jumpa lagi, lengkap dengan rona merah pipimu.







Saat menantang angin malam sudah tiba.



Kutelusuri arah pulang dengan hati lengang.

Rabu, 01 Juni 2011

Celoteh anak pada IBUkotaNYA

Pada obrolan di warung pinggir jalan.
Pada setiap jalanan yang becek dan berlubang.
Pada kebisingan deru mesin sore hari yg membuat senja lekas pergi.
Pada debu dan waktu yang habis berlalu.
Pada semua yang tersaji di kota ini.

Selalu kutanya dimana dirimu.
Sampai lelah mencari dimana dirimu.
Sampai hampir mati, mati suri, lalu hidup lagi.
Sampai semangat termakan usia.
Belum bisa kutemui.
Cuma belum, bukan tidak
Yakin saja selalu ada kemungkinan.

Hey! Ibukota
Berilah pencerahan bagi mereka yang hidup di bawah ketiakmu.
Beri mereka keyakinan dan kekuatan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang cukup.
Untuk sadar dari serakah dan serakah.
Untuk membela perut tanpa berebut.
Untuk berbagi tanpa umbar janji.
Dan untuk segala hal yang membuat kami dan kau tetap bertahan hidup.
Dan untuk itu semua saya berkata-kata.
Baru ini saja yg saya bisa..
Semoga..
Tertanam terus di benak saya.
Tanpa terlupa.
Tanpa terluka.
Semoga sejahtera.

Untuk kamu yang selalu cemburu dengan senja

Setiap sore datang telepon genggamku berbunyi, percakapan dimulai dengan kamu yang selalu bilang; pasti sore ini kamu terlambat lagi deh jemput aku.

Dan aku selalu menjawab;tunggulah sebentar, bersabarlah sedikit. Aku cuma memandang senja sebentar. Tenang saja, ini tidak akan memakan waktu yang lama. Tak akan lama seperti menunggumu berdandan di toilet kantor sebelum pulang. Tak akan lama seperti bercengkrama dengan macetnya jalanan ke rumahmu.


Kemudian itu semua berlalu dimakan waktu.
Kemudian hubungan ini semakin rapuh termakan waktu.
Dan kebosanan pun datang melawan waktu.
Dan kamu mulai lebih sering bertanya.

Tentang terlambat krn senja.
Tentang hubungan dan masa depan.
Tentang ketakutan akan perpisahan.
Tentang apa saja yg kamu mau.


Aku jawab semua itu dengan memperdengarkan padamu sebuah lagu.
Dan aku memberikan penekanan pada sepenggal liriknya.


“Sementara, akan ku karang cerita tentang mimpi jadi nyata untuk asa kita berdua”


Aku tau, lirik lagu ini tak menjawab segala pertannyaanmu.
Aku tau, bukan cerita karangan yang kamu mau.
Aku tau, kamu sama sekali tidak puas akan jawaban itu.


Tapi aku sangat tau, senyuman dan matamu yang berbinar jelas hadir sebagai tanda kalau kamu bahagia.


Walaupun cuma di saat itu.
Walaupun sementara.




lirik lagu : Float - Sementara

Aku, kamu dan nafsu

Matahari turun.

Gelap naik perlahan.

Seperti birahi aku dan kamu yg lama tertahan.

Maafkan bibir ini, yg begitu pandai mencari tempat yg nyaman di bibir mu.

Dekapan kadang erat kadang terlepas.

Ritme nafas naik turun melaju bersama cumbu.

Segala yg tertutup terlanjur terbuka.

Berserak di lantai buta.

Lenguhan dan gesekan bersatu menjadi bunyi dgn sedikit harmonisasi.

Semua terjadi begitu saja.

Dimana dua menjadi satu.

Diantara peluh.
Diantara lenguh.
Diantara dekap tubuh.

Diantara itu semua kejadian terlewat cepat dan sulit teringat.

sampai klimaks datang mengundang lelah.

Berakhir dengan lelap.

Tersadar oleh sinar.

Dan yang satu kembali terpisah.

Fiksi; mencuri mimpi menuju nyata

Malam tadi, telah ku curi sepotong mimpi.
Lalu Kutoreh di atas kertas menjadi fiksi.

Mimpi tentang mu yang tak benar-benar aku tahu.
Fiksi tentang rona merah pipimu dan lekuk indah tubuhmu.

Sayang sekali mimpi tak punya tombol berhenti.
Andai saja ada, akan kutekan tombol itu kuat-kuat. Agar wajah dan tubuh indahmu bisa benar-benar kuingat.

Agar tak bernasib seperti fiksi yang ada dari hasil terka.
Agar jadi hal nyata yang bisa dirasa.
Agar semua harap tak jadi sia-sia.

Dan yang terpenting, bukan lagi hanya sepucuk surat yang tersisa di pagi buta.
Tapi sesosok tubuh yang nyata di depan mata.