Rabu, 28 September 2011

Jika

Jika kita bertemu mata,
Kemudian bertemu rasa
Tolong jangan kau hitung deretan waktu yang terlewat.
Agar langkah yang telah seiring tak terasa berat.

Jika di kemudian hari datang amarah dan haru.
Jangan ragu untuk teriak di telinga ku.
Teriaklah sekeras kau mampu, berdarah-darah pun tak jd masalah.
Sebab masalah tak bisa selesai dalam diam yang bisu.

Jika ternyata kita menuju arah mata angin yang berbeda.
Bawa saja rusuk yang kupinjamkan padamu.
Karena, jika kau kembalikan pasti akan menusuk jantung hati
Memang tidak mematikan,
Hanya meninggalkan bekas luka yang lama terhapus.
Dan aku tak punya banyak waktu untuk menyaksikan semua itu.

Dan jika ternyata kita bertemu lagi di belahan bumi lain.
Aku cuma minta kau menutup mata dan mengasah rasa.
Cukup itu saja.

Fiksi; mencuri mimpi menuju nyata

Malam tadi, telah ku curi sepotong mimpi.
Lalu Kutoreh di atas kertas menjadi fiksi.

Mimpi tentang mu yang tak benar-benar aku tahu.
Fiksi tentang rona merah pipimu dan lekuk indah tubuhmu.

Sayang sekali mimpi tak punya tombol berhenti.
Andai saja ada, akan kutekan tombol itu kuat-kuat. Agar wajah dan tubuh indahmu bisa benar-benar kuingat.

Agar tak bernasib seperti fiksi yang ada dari hasil terka.
Agar jadi hal nyata yang bisa dirasa.
Agar semua harap tak jadi sia-sia.

Dan yang terpenting, bukan lagi hanya sepucuk surat yang tersisa di pagi buta.
Tapi sesosok tubuh yang nyata di depan mata.

Aku dan Kamu adalah Kita

Aku dan kamu adalah teks.

Nyata terbaca. Dipikir dan dicerna.

Aku dan kamu adalah prasangka.

Tak pernah sama di setiap kepala.

Aku dan kamu adalah rasa.

Tak terlihat namun bukan muslihat.

Apa ini cinta atau salah sangka.

Tak perlu dijadikan perkara.

Yang terpenting aku dan kamu adalah kita.

Adalah bersama. Sementara tetapi lama.

Tarling; kesedihan diatas panggung gembira

Sorot senja sore ini seperti sorot mata seorang gadis belia diatas panggung-panggung tarling pantura.

Senang namun tak berdaya.

Senang oleh para lelaki yang bergoyang dengan segepok uang ribuan di tangan.

Demi mengeluarkan diri yang tak berdaya pada kemiskinan.

Jangan salah kira, ia sama sekali tidak menjual dirinya.

Ia cuma berbagi kesenangan dengan membungkus duka dalam balutan musik gembira.

Musik tarling mewakili dirinya akan ironi hidup.

Antara lirik tentang derita dan balutan musik gembira.

Antara bintang panggung dan cemooh para tetangga.

Waktu

Apa itu waktu…

Sesuatu yang bisa kau susuri terus ke depan, sesekali mengingatkan mu untuk menoleh ke belakang.

Tapi kau tak perlu dan tak bisa mengulangnya lagi.

Memang segala hal yang berlangsung sekarang atau esok adalah sebuah pengulangan, yang selalu baru.....

adalah pemaknaan.

Hidup bukan untuk terus menyesali yang lalu, atau takut pada hari depan.

Hadapi saja yang ada sekarang, terserah mau berlari atau berjalan.

Langkah Telanjang

Kenapa terus berdiam dirumah, sesekali keluar hanya untuk mengunjungi gedung megah yang sejuknya palsu, yang menjual mimpi dalam bentuk visual, menopengi kekhawatiran dengan merk dagang yang katanya berkelas. Padahal diciptakan oleh tangan kasar para buruh yang disayat oleh para pemilik modal.

Kenapa tak mencoba keluar tantang sengatan panas atau tusukan dingin. Enak atau tidak, itu yang asli dan nyata.

Kenapa mesti isi perutmu dengan makanan mahal seharga lusinan porsi ransum pengungsi ataupun korban kelaparan.

Kenapa kau pakai sepatu seharga berlian yang membatu. Tetap saja kau injak, seperti nasib para pembuatnya.






Bukankah telanjang kaki diwaktu hujan itu menyenangkan ??

Kesepian

Kesepian adalah…..

Kota besar…

Dengan gemerlap lampu di setiap sudut jalan.

Beton sombong menjulang.

Pusat belanja tempat buang-buang uang.

Orang-orang lalu-lalang bermata nyalang, berlomba memberi label dirinya sampai nominal tak terhingga.

Manipulasi rasa para industri raksasa, dan rasa pun berubah jadi harga.

Ketika harga menjulang tinggi, ia menyiksa namun sekaligus begitu di puja.

Selalu berakhir dengan bangga telah bisa membawa pulang gengsi.

Rumah kembali mengingatkan segala tagihan yang memusingkan, kebutuhan yang tak ada habisnya, dan tentunya ranjang dingin itu….. yang bisu…… yang mati bersama segala sepi di malam hari.

Selasa, 27 September 2011

Buku; Halaman Kehidupan

Kebanyakan orang datang ke toko buku untuk mencari buku "ringan".

Padahal buku "berat" selalu bisa memberikan manfaatnya sendiri. Seperti hidup dan berbagai macam manusia yang ada didalamnya.

Setiap manusia selalu mencari jalan paling mudah dan menyenangkan untuk dilalui, tapi tanpa disadari semua hal yang mereka anggap mudah dan menyenangkan itu bisa dirasa "lebih" karena ada hal berat yang pernah menghampiri sebelumnya, yang menguras tenaga dan pikiran, yang mungkin hanya hadir dlm keluh kesah. Yang lalu dilupa dan dikunci rapat-rapat dalam peti kenangan.

Tapi sebenarnya mereka sadar betul kalau mereka juga menyimpan kunci kenangan dengan hati-hati.

Untuk menyembunyikannya dari orang lain, untuk adanya alasan bahwa benci itu perbuatan yang benar, atau untuk mengobati rindu yang sembunyi-sembunyi.

Karena mungkin takut diketahui oleh gengsi dan emosi, padahal untuk alasan yang terakhirlah semua kesenangan bisa terasa begitu nikmat. Jadi tak perlu menyimpan buku "berat" di dalam gudang berdebu, tak ada salahnya bila ia ada berdampingan dan berderet rapi bersama buku yang "ringan" agar semua bisa dijadikan pilihan, bukan untuk dibeda-bedakan lalu disingkirkan

Tertahan Hujan

Rintik hujan dan desau angin malam menahanku di teras rumahmu. Kulihat jam yg melingkar di tanganku, sudah pukul 20.30 sekarang. Kira-kira sekitar satu setengah jam lagi waktu ku untuk berada disini. Sebenarnya ingin lebih lama lagi, tetapi lingkungan ini terlalu konservatif untuk menerima hal itu.







sambil menunggu hujan reda, kuhabiskan sisa kopi hitam buatanmu. Begitu nikmat dengan komposisi yang pas, tak terlalu pahit juga tidak terlalu manis.Seperti apa yang kulihat dihadapanku saat ini, tak begitu cantik tetapi juga tidak jelek. Pas dan enak dilihat. Begitu kataku. Dan kau pun tersenyum malu dengan pipi merah merona. Lalu seperti biasa kau bilang "dasar gombal". Aku pun membalas dengan senyum.







Lalu diam datang lagi, mungkin karena memang sudah terlalu banyak meracau sedari tadi.







Hujan belum juga reda, kupinjam gitar kepunyaan adikmu untuk sekedar membunuh waktu. Kunyanyikan sebuah lagu romantis dengan nada merayu, kau kembali tersipu. Kulit pipimu yang putih tak mampu menutupi rona merah malu-malu.



Satu lagu selesai, dan lagi-lagi kau berkata "dasar gombal". Aku kembali tersenyum sambil berkata dalam hati,



"apa yg keluar dari mulutmu itu adalah benturan logika, tapi rona merah di pipi mu tak bisa berdusta akan apa yang kau rasa".







Tiga lagu sudah kunyanyikan untuk sekedar melihat rona merah yang selalu terlihat indah di wajahmu.







Sudah pukul 21.30 sekarang.







Hujan reda, pergi bersama segala sihirnya yang sangat mendukung suasana malam ini.







Dan waktu yang aku benci pun tiba.



Ya, waktu untuk berpamitan.







Kupakai jaket ku, kunyalakan sepeda motor ku, kukembalikan kesadaran ku.



Sadar kalau ternyata kamu memang bukan pacarku.







Semoga saja bisa jumpa lagi, lengkap dengan rona merah pipimu.







Saat menantang angin malam sudah tiba.



Kutelusuri arah pulang dengan hati lengang.