Selasa, 07 September 2010

Mata pantai (tak) berpenghuni

Aku menemukanmu di sebuah ruang. Ruang yang di dalamnya terdapat berderet-deret kursi. Kau terduduk pada sebuah kursi dalam ruangan itu.

Sekilas biasa saja. Tapi, ketika mata kita beradu aku baru tersadar kalau ada sebuah pantai di mata mu. Lengkap dengan pasir putih yang bersih, deburan ombak, senja merah yang indah dikala sore, sinar bulan dan taburan bintang yang mendamaikan malam, serta semangat dari pagi yang cerah.

Tak sampai satu minggu aku telah bisa bermain-main dalam pantai mu. Berlari di atas pasirnya, dihangatkan air laut, di iringi irama debur ombak, dimanja oleh senja sore, berbagi kedamaian oleh sinar bulan dan taburan bintang, dan merasakan energi baru di cerahnya pagi.

Bertahun-tahun aku bermain di pantai mu. Selama itu juga aku belum pernah merasa bosan. Aku selalu ingat jalan ke arah pantai mu. Walau kadang panas matahari tak sengaja membakar arahnya. Walaupun deras hujan sudah menyapu jalanan. Tetap saja itu suatu hal mudah bagiku. Hanya berbekal percaya pada bintang selatan yang masih terlihat dari timur jauh. Aku selalu yakin dan selalu bisa sampai ke pantai mu.

Bertahun-tahun aku selalu berkunjung ke pantai mu. Tanpa pernah merasa harus mencari tau apakah pantai mu sudah berpenghuni. Terkadang memang terpikirkan untuk mencari tau. Tapi kesenangan ini terlalu cukup untuk ku, dan membuat pikiran itu tidak pernah bertahan lama.

Sampai pada suatu musim penghujan. Pada suatu sore kelabu. Aku dan kamu terduduk di sebuah kursi sambil saling berpandangan.

Dan kau pun bertanya…

“ Kenapa kau selalu berkunjung ke pantai ku?! ”

Aku cuma terdiam dan berhenti memandanginya. Ia pun lelah menunggu dan melempar pandangan ke arah lain.

Dalam lamunan yang mencari jawaban aku justru menemukan sebuah pertanyaan.
Pertanyaan yang waktu itu sempat terlintas di pikiranku.

Aku pun kembali memandang wajahnya dan bertanya…

“ Apakah pantai ini sudah berpenghuni?? ”

Ia memandangku dengan tatapan aneh. Kemudian ia kembali melempar pandangannya ke arah lain.

Sambil menitikkan air mata ia berkata….

“ Iya, sudah ada! “

Jawaban itu sontak membuatku kaget. Rasanya seperti diberi suntik mati. Kepala ku berat, pandangan kabur, dada sesak, benar-benar tidak berdaya.

Aku merasakan kecewa yang luar biasa. Kenapa ia tidak pernah memberitahuku kalau pantai nya sudah berpenghuni. Aku pun tak berhenti menyalahkan diri sendiri yang baru menanyakan hal ini ketika setengah hidup ku sudah terisi oleh pantai nya.

Aku Cuma bisa terdiam sambil memandanginya.

Tapi dia mengumpulkan kembali energinya yang terserap tangis dan mengeluarkan lagi kata-kata yang seperti cairan racun…

“ Pantai ini hanya cukup untuk dua orang…. “

“ Kalau kau ada disini, berarti ada tiga orang…. “

“ Dan itu tidak mungkin!! “

Tapi aku tak mau menyerah dan kembali bertanya…..

“ Apa… Aku… bisa menggantikan penghuni yang sudah ada?? “

Ia hanya terdiam. Lalu berdiri dan pergi. Tak lama kemudian ia menutup dan mengunci pintu pantai nya rapat-rapat.
Berminggu-minggu aku berjalan mundur. Menghapus jejak arah ke pantai nya yang belum pernah selesai.





09072010
01:00

Sabtu, 04 September 2010

(di) mana? dan (ke) mana?

Hey, anak muda.



Jangan tinggal idealis mu di rumah.

Nanti ayah dan ibu tersandung.

Lalu khawatir dan marah.



Jangan tinggal idealis mu di rumah.

Nanti kakak bisa ikut kena marah.

Karena dianggap tidak becus menunjukkan arah.



Jangan tinggal idealis mu di rumah.

Nanti adik juga bisa kena marah.

Karena mencoba salah arah.



Lebih baik buang saja di tempat sampah.

Yang juga bukan di rumah.

Di sana.

Di tempat pembuangan mimpi-mimpi tak berarah.



Atau,

Kau dan idealis pergi saja dari rumah.

Tak perduli seberapa beratnya.

Seret saja.

Sampai lelah, merah, berdarah.

Sampai bisa menentukan arah.







03092010

00:30