Jumat, 10 Agustus 2012

Kunang-kunang di kota kuning


Pada bahu seorang teman aku memulai perjalanan
pada waktu-waktu malam hampir pagi yang rawan

"Tenang saja, ini hanya sebuah perjalanan bukan pelarian. Begitu katanya"

Kita memang menunggangi kuda besi yang berlomba dengan waktu
Kita memang menghindar dari hentak kaki-kaki terburu

Bukan karena kita tidak mampu, bukan soal menyerah pada deru metropolis.
Ini cuma perihal kita yang terlalu sadar, terlalu ambil perduli.
Pada kesadaran juga akal sehat.

Dan perjalanan ini cuma soal memperkukuh keyakinan.

Kalau senyuman tidak hanya garis yang ditukar dengan kedudukan.
Kalau setiap subuh yang dingin tidak cuma menandakan keharusan kerja yang dibayangi ketakutan akan kelaparan.
Kalau terik siang yang garang tidak cuma waktu yang disiksa untuk menjadi riang, dengan tadah mulut yang dicekoki rupiah berwujud restoran siap saji.
Kalau setiap sore tak melulu soal debu jalanan, dicaci karena akrab dengan asap knalpot yang mengantar harapan etalase jendela wisata belanja. Dinanti kerling mata anak istri pelahap nabi di televisi.

Itulah keyakinan yang akan kita telusuri di putaran waktu perjalanan ini.

Perihal menikmati,
dan kita akan menyala
seperti kunang-kunang di kota kuning yang tenang.