Selasa, 27 September 2011

Tertahan Hujan

Rintik hujan dan desau angin malam menahanku di teras rumahmu. Kulihat jam yg melingkar di tanganku, sudah pukul 20.30 sekarang. Kira-kira sekitar satu setengah jam lagi waktu ku untuk berada disini. Sebenarnya ingin lebih lama lagi, tetapi lingkungan ini terlalu konservatif untuk menerima hal itu.







sambil menunggu hujan reda, kuhabiskan sisa kopi hitam buatanmu. Begitu nikmat dengan komposisi yang pas, tak terlalu pahit juga tidak terlalu manis.Seperti apa yang kulihat dihadapanku saat ini, tak begitu cantik tetapi juga tidak jelek. Pas dan enak dilihat. Begitu kataku. Dan kau pun tersenyum malu dengan pipi merah merona. Lalu seperti biasa kau bilang "dasar gombal". Aku pun membalas dengan senyum.







Lalu diam datang lagi, mungkin karena memang sudah terlalu banyak meracau sedari tadi.







Hujan belum juga reda, kupinjam gitar kepunyaan adikmu untuk sekedar membunuh waktu. Kunyanyikan sebuah lagu romantis dengan nada merayu, kau kembali tersipu. Kulit pipimu yang putih tak mampu menutupi rona merah malu-malu.



Satu lagu selesai, dan lagi-lagi kau berkata "dasar gombal". Aku kembali tersenyum sambil berkata dalam hati,



"apa yg keluar dari mulutmu itu adalah benturan logika, tapi rona merah di pipi mu tak bisa berdusta akan apa yang kau rasa".







Tiga lagu sudah kunyanyikan untuk sekedar melihat rona merah yang selalu terlihat indah di wajahmu.







Sudah pukul 21.30 sekarang.







Hujan reda, pergi bersama segala sihirnya yang sangat mendukung suasana malam ini.







Dan waktu yang aku benci pun tiba.



Ya, waktu untuk berpamitan.







Kupakai jaket ku, kunyalakan sepeda motor ku, kukembalikan kesadaran ku.



Sadar kalau ternyata kamu memang bukan pacarku.







Semoga saja bisa jumpa lagi, lengkap dengan rona merah pipimu.







Saat menantang angin malam sudah tiba.



Kutelusuri arah pulang dengan hati lengang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar